Coldplay merupakan Sebuah grup musik rock alternatif yang dibentuk di London, Britania Raya, pada tahun 1996, yang beranggotakan 4
 orang anak muda. Menghargai hidup dan        berbuat sebaik-baiknya 
bagi diri sendiri dan orang lain, menjadi dasar        mereka dalam 
menciptakan lagu. Plain dan simpel. Padahal        lirik-lirik 
dalam lagu mereka tercipta di masa-masa maraknya hip metal        yang 
sebagian besar berisikan isu kebobrokan sistem, keputusasaan dan        
kemarahan terhadap dunia sekitar. Tapi begitulah mereka. Mereka tidak 
mau        terjebak dalam hal tersebut. Mereka memilih menjadi diri 
sendiri.
Kisah
        Coldplay berawal dari meja bilyar. Tepatnya sebuah meja bilyar 
yang        terletak di sebuah pub tak jauh dari kampus mereka, 
University College of        London. Satu malam di pertengahan tahun 
1996, dua orang mahasiswa tampak        asik bermain bilyar. Mereka 
adalah Jonny Buckland dan Chris Martin.        Walaupun beda jurusan – 
Jonny kuliah di jurusan Matematika dan Astronomi,        sedangkan Chris
 menekuni Sejarah Dunia Kuno – kedua cowok ini sudah        lengket satu
 sama lain atas nama musik. 
Nggak
 berapa        lama meja itu nambah satu pemain. Kali ini adalah seorang
 mahasiswa        jurusan Antropologi yang sempet beberapa lama jadi 
rekan se-tim chris di        lapangan hoki kampus. Namanya Will 
Champion. Sembari terus bermain serta        sesekali menenggak bir, 
ketiga cowok ini ngobrol dan mereka-reka        kemungkinan buat 
sama-sama membentuk sebuah band. Yang pertama kali        melontarkan 
gagasan adalah Chris Martin. Itu dicetuskannya lantaran        vokalis 
yang gape memetik gitar akustik dan piano ini nggak puas sama        
bandnya saat itu, Pectoralz. Ajakan itu ditangapi serius sama Will.     
   Padahal saat itu ia sudah tercatat sebagai personal band Fat Hamster.
        serupa juga sambutan dari Jonny. 
Cowok kelahiran Mold, wales 
Utara ini,        malah langsung ngusulin nama Guy Berryman, temennya di
 asrama buat        melengkap formasi band. Begitu dihubungi, Guy 
langsung menganggukkan        kepalanya. Maklum, mahasiswa jurusan 
Teknik itu lagi suntuk terus-terusan        mainin aliran progresif sama
 bandnya, Time Out. “Band itu gawat bener.        Gara-gara personel 
yang paling jago di situ tuh ngefans berat sama        Genesis, yang 
lainnya harus ikutin kemauannya. ue tersiksa banget        ngiringin 
solo instrumen yang lama-lama jadi kedengaran nggak masuk akal        !”
 kenang Guy
Setelah semua lini terisi, band yang        sampe saat itu belum mempunyai nama itu segera menggelar workshop 
 di gudang kosong yang ada di asrama mereka. Sesekali mereka boleh 
berlatih        di ruang musik milik kampus. Selain menyamakan persepsi 
dengan ngebawain        lagu-lagu milik band lain, mereka juga coba-coba
 bikin lagu sendiri. “Apa        yang ada di kepala kami saat itu cuma 
musik, musik dan musik. Inti dari  workshop sendiri adalah 
berusaha mengeluarkan yang terbaik dari tiap        personel dan 
menkolaborasikannya menjadi sesuatu.” ingat Chris.
Saking getolnya bermusik, mereka nggak sempet mikirin
        soal nama band. Memang mereka pernah melontarkan nama-nama 
seperti Stepney,        Green atau Starfish. Ujung-ujungnya, mereka 
memilih nama Coldplay, yang        merupakan nama band milik salah 
seorang temen mereka yang udah bubar. “Pokoknya        jangan pernah 
tanya apa arti ‘Coldplay’. Soalnya kami sendiri nggak pernah        
mikirin. Saat itu, cuma kata itulah yang paling masuk akal bagi kami    
    ketimbang pilihan nama lainnya !” ungkap Chris cuek.
Memasuki 1998, Chris cs sepakat buat merekam sebagian materi yang dianggap udah        mantap sebagai demo. bermodal beberapa ratus pounds mereka
 menyewa        Sync City Studios dan mulai menggarap demo. Entah 
kesambet setan mana,        rencana membuat demo itu di tengah jalan 
berkembang menjadi mini album,        yang nantinya bakal diedarkan 
sendiri. Jadilah tuh demo diperbanyak sampe        sekitar 500 keping CD
 dan dirilis pada bulan Mei tahun yang sama dengan        titel Safety.
Nggak disangka dari 500 keping yang diedarkan di seputar London, hanya        sekitar 50 keping yang tersisa. Nama Coldplay
 mulai        terdengar gaungnya. Beruntung, ada beberapa keping CD yang
 udah tersebar        itu jatuh ke tangan yang tepat. Siapa lagi kalo 
bukan petinggi-petinggi        perusahaan rekaman. Alhasil nggak nyampe 
setahun kemudian Coldplay teken        kontrak pertamanya dengan 
Parlophone Records.
Biar
 udah punya kontrak        rekaman, kuartet ini tetap merasa perlu 
mempertinggi jam terbang di atas        panggung. Mereka sadar betul 
kalo Coldplay tuh tergolong ‘BTL’ alias ‘band        tembak langsung’, 
yang go straight ke dapur rekaman tanpa        pengalaman manggung.
mereka
 tercipta di masa-masa maraknya hip metal        yang sebagian besar 
berisikan isu kebobrokan sistem, keputusasaan dan        kemarahan 
terhadap dunia sekitar. Tapi begitulah mereka. Mereka tidak mau        
terjebak dalam hal tersebut. Mereka memilih menjadi diri sendiri.
Phil Harvey, yang menukangi manajemen Coldplay, jeli menangkap momen yang bisa melesatkan nama Coldplay. Seakan nggak mau menyia-nyiakan tren yang udah tercipta lewat Brohers and Sisters, Phil kembali menggiring Chris dkk masuk sudio rekaman buat memproduksi satu mini album lagi. Bulan Oktober 1999, mini album bertajuk The Blue Room itu dirilis. diikuti dengan sederet penampilan di berbagai festival bergengsi serta jadi pembuka buat Catatonia, jalan yang dilalui Coldplay saat itu bisa dibilang makin lapang terbentang. Tabloid musik paling bergengsi Inggris, NME, bahkan sempat menyebut mereka sebagai salah satu hottest band tahun 1999.
Seluruh fakta di atas bikin pede personel Coldplay makin berlipat-lipat. The time has come for Coldplay doing the real deal : Bikin full album !
Ternyata, jalan menuju pembuatan sebuah album penuh, nggak segampang yang dikira. Pasalnya, pihak label mereka saat itu belum terlalu yakin pada nilai jual band ini. Akhirnya, sambil mempersiapkan materi yang bakal dimuat di album penuh itu, Chris cs mutusin untuk sekali lagi merilis satu mini album. Kali ini, materinya adalah kompilasi dari yang pernah dirilis di Safety EP dan Brothers and Sisters plus beberapa materi baru. Biar masih diedarkan dalam jumlah terbatas, mini album bertitel Bigger Stronger itu terbilang sukses makin memancing perhatian khalayak. Terbukti, berbarengan dengan kemunculan album ini, muncul juga kritik yang bilang kalo Coldplay tuh nggak lebih dari sekadar pengekor Radiohead !
Kritik model begini makin santer, ketika mggak lama setelah itu, tuh band merilis singel Shiver yang keren itu. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Shiver kembali direspon antusias. Sempet terdafter sebagai salah satu heavy rotation songs di playlist Radio 1, videoklip singel itu juga lumayan kenceng diputer di MTV. Biar dicela kayak apapun juga, tetep aja singel itu mampu membawa Chris cs ke jenjang yang lebih tinggi dalam karir mereka. Untuk pertama kalinya, Coldplay mampu menembus jajaran Top 40 Inggris. Tapi itu belum seberapa dibanding ketika mereka melepas Yellow sebagai singel berikutnya. Singel yang dibilang Chris tercipta setelah terinspirasi sama cara bernyanyinya Neil Young itu, langsung melesat ke peringkat Top 10 Inggris dan bercokol di posisi 4 selama beberapa minggu nggak lama setelah dirilis. Lirik,“…Look at the stars/look how they shine for you/And all the things you do/And it was all yellow…” langsung jadi satu mantra wajib penggila musik di daratan nggris.
Nggak butuh waktu lama lagi bagi lagu itu jadi anthem anyar generasi yang udah bosen sama deruan gitar distorsi yang membalut lirik-lirik bertemakan kemarahan. Saking populernya, Coldplay pun jadi salah satu band yang paling ditunggu penampilannya di festival musik bergengsi Glastonbury 2000. Menurut Will, waktu itu sebelum manggung mereka nervous setengah mati sebelum naik panggung. Tapi bagaimanapun juga penampilan Coldplay selama 1 jam pada hari kedua festival itu berakhir manis.
Prestasi yang dicetak Yellow, ditambah suksesnya penampilan mereka di Glastonbury otomatis memperlancar jalan yang kudu ditempuh album debutnya yang dikasih judul Parachutes. Album itu dirilis tanggal 1 Juli 2000. Hanya dalam hitungan minggu, album berisi 11 lagu keren itu langsung meroket ke puncak tangga album terlaris di Inggris. Secara artistik, tuh album juga langsung mendapat pengakuan. Mereka sukses menyabet piala di Brits Awards, Mercury Prize, NME Carling Awards, sampai yang paling gres, Grammy Awards. Top banget ! Coldplay is now a really England’s next biggest thing !
Hebatnya lagi, apa yang udah diraih itu nggak pernah bisa merubah sifat dasar para personel Coldplay. Sopan, ramah dan rendah hati tetap jadi satu ciri yang mengemuka dari Chris, Will, Guy dan Jonny. “Kami nggak merasa perlu buat berubah. Soalnya kami cukup bersyukur sama apa yang udah kami miliki sejauh ini. Lagian kami juga nggak tau, kalo mau berubah tuh musti berubah kayak apa lagi ?” ucap Guy, polos.
“Buat kami rock ‘n roll tuh adalah kebebasan buat melakukan apa yang kami mau. Dan yang kami mau saat ini adalah gaya hidup yang biasa-biasa aja. Nggak perlu drugs apalagi jadi hedonis. Soalnya buat kami hal itu tuh basi dan klise banget. Kami nggak mau terjebak dalam klise-klise macam itu !” tandas Chris.
Secara keseluruhan, Coldplay telah meraih kesuksesan melalui 5 albumnya dengan total penjualan melebihi 33,9 juta album Beberapa singelnya telah menjadi hit seperti "Yellow", "Clocks" (pemenang Record of the Year pada Grammy Award 2004), "The Scientist", "Speed of Sound", "Fix You", dan "Viva la Vida". Mereka mendapat tanggapan baik dari media di album Viva La Vida Or Death and All His Friends setelah di album X&Y mendapat kritik yang buruk di media.
Gaya musiknya :
Gaya rock alternatif Coldplay telah dibandingkan dengan Radiohead dan Oasis. Chris Martin pernah memprokalamsikan musik band ini sebagai "limestone rock" dibandingkan dengan "hard rock".
Dalam Viva la Vida or Death And All His Friends, gaya grup ini bergerak ke arah art rock, dan bereksperimen dengan berbagai instrumen berbeda termasuk orkestra, piano honky-tonk dan lainnya.Personil Bandnya :
- Chris Martin: vokalis utama, piano/kibor, gitar
- Jonny Buckland: gitaris utama, harmonika, vokal latar
- Guy Berryman: bassis, synthesizer, harmonika, vokal latar
- Will Champion: drum/perkusi, piano, vokal latar
Diskografinya :
- Album studio
- Parachutes (10 Juli 2000) 
 Band of the Year 2000 music press
 Best Alternative Music Album - Grammy Awards
- A Rush of Blood to the Head (26 Agustus 2002)
 Best Alternative Music Album - Grammy Awards
 Best Rock Performance by a Duo or Group with Vocal - Grammy Awards
 Record of the Year (Clocks) - Grammy Awards 2004
- X&Y (6 Juni 2005)
 best-selling album of 2005 8,3 Juta Kopi
 Best Album and Best Single pada BRIT Awards 2006
- Viva la Vida or Death and All His Friends (25 Mei 2008)
 the number-one-selling album in 36 countries around the world
- Mylo Xyloto (24 Oktober 2011)
- Album live
- Live 2003 (10 November 2003)
- LeftRightLeftRightLeft (15 Mei 2009)

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar